opini

PULAU BANGKA MERADANG KARENA ADANYA TAMBANG

PENULIS : DODI RUDI

Kebutuhan dunia terus meningkat akan bahan mineral tambang, perkembangan teknologi dan meningkatnya jumlah penduduk membuat orientasi penambangan yang semula banyak terpusat di wilayah darat kini semakin bergeser menuju laut. Selain itu, semakin menipisnya konsentrasi mineral tambang di darat dan sempitnya luasan wilayah di darat menjadikan penambangan di laut menjadi solusi masa depan untuk penyediaan bahan tambang yang tak dapat diperbaharui.

Timah telah ditambang di bumi Pulau Bangka lebih dari 300 tahun yang lalu. Berawal dari daratan kini penambangan timah mulai beralih ke laut Pulau Bangka. Kini penambangan mulai ekstensif dan menuju intensif (semi intensif) dilakukan di laut Pulau Bangka.

Sejak Undang-undang No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah (otonomi daerah) dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.146/MPP/Kep/4/1999 mengenai pencabutan timah sebagai komoditas strategis dan sejak SK Bupati Bangka No.6/2001 tentang pertambangan diterbitkan, pertambangan timah inkonvensional (TI) menjarah daratan Pulau Bangka dan Belitung.

Saat ini, TI Apung dan modifikasinya mulai marak memenuhi lautan Pulau Bangka. Jumlah Kapal isap di laut terus bertambah yang sebelumnya dikuasai oleh kapal keruk. Sistem penambangan timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi sangat rakus, berorientasi keuntungan jangka pendek dan berdampak pada kerusakan lingkungan yang parah (Erman, 2010).

Dampak Buruk Tambang

Selain memberikan dampak positif seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan lapangan kerja, kegiatan penambangan pun memberikan dampak negatif seperti kerusakan lingkungan, perubahan budaya masyarakat dan kesehatan.

Tahap AMDAL dilakukan agar menjadi panduan dan jaminan pihak perusahaan pertambangan timah di laut dapat memberikan dampak negatif seminimal mungkin dan dampak positif semaksimal mungkin.

Ironisnya, perusahaan tambang yang telah memiliki dokumen AMDAL terkesan dapat bebas berbuat “suka-suka”. Semua menjadi seakan “legal” dan “halal”. Padahal jelas dalam dokumen AMDAL, penambangan timah laut memiliki beberapa catatan sebelum menambang.

Sebagai contoh, Operasi KK/KI/KIP/BWD dan Mitra seminimal mungkin mengakibatkan dampak penting negatif terhadap : Daerah Asuh, Habitat Khusus, Terumbu Karang, Daerah Penangkapan Ikan (Fishing Ground), dan Lokasi Wisata Bahari (Dokumen Rencana pengelolaan Lingkungan (RKL) PT  TIMAH Tbk, 2009, halaman III-34).

Namun hal ini tak pernah menjadi pedoman. Karenanya masyarakat pun harus memahami AMDAL dan pemerintah pun tidak boleh terkesan lepas tanggung jawab setelah perusahaan memiliki dokumen AMDAL. Karena pemerintahlah yang menjadi eksekutor utama yang mengawasi, memantau dan menilai pengelolaan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan untuk mengurangi dampak negatif yang diakibatkan oleh penambangan timah laut.

Ironisnya, pemerintah sendiri seperti tak punya gigi untuk memantau dan menilai. Jika punya gigi, mana data monitoring ekosistem pesisir (spot terumbu karang, lamun dan mangrove) yang diambil datanya setiap 6 bulan untuk kemudian menjadi dasar dalam mengambil kebijakan apakah operasi pertambangan tidak berdampak besar atau kecil?

Padahal panduan dalam menilai kondisi ekosistem pesisir sudah jelas tersaji. Kriteria baku kerusakan ekosistem Terumbu Karang; Kepmen Lingkungan Hidup (LH) No.04/2001, Kepmen No.200/2004   tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun dan  Kepmen LH No.201/2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Teks Akademik dan Non Akademik

resensi buku

Cara Membuat Kopi Yang Benar